Rabu, 18 Maret 2015
Ketika Separuh Nafas telah PERGI
Hari
ini sama seperti hari-hari sebelumnya, hanya saja ada bagian besar yang hilang.
Hai, Ayah. Apa kabarmu disana? Adakah kamu merindukanku?
Aku
selalu bertanya-tanya pada diriku, akankah ayah memaafkan semua kenakalanku saat
ia masih disisi? Aku tersenyum mengingatnya tentang canda tawa yang beliau
berikan pada kami. Namun sejenak, air mata ini juga terjatuh membasahi pipi.
Kata-kata “andai” pun tersusun dengan sangat rapi, “andai aku memperhatikannya
lebih baik dari ini”, “andai aku... “andai aku....
Begitulah
kalimat yang selalu terucap bila semua ini teringat. aku menahannya sejauh ini
karena keinginan Ayah yang melihatku sukses di hari esok. Aku menahannya karena
Ayah menginginkanku untuk menyelesaikan kuliahku di tahun ini. Aku menahannya,
karena satu alasan yang kuat yaitu AYAH.
Adilkah
semua ini? Jika aku bilang tidak, ini akan membuatku lebih terlihat menyedihkan
bukan? Saat ayah jatuh dan pingsan aku sangat jauh disini, aku juga tak ada
disisinya saat ia masuk ke Rumah Sakit, dan terbaring lemas tak berdaya di ICU.
Namun, Ayah masih saja mencemaskanku. Kata-kata terakhir Ayah untukku adalah
“Bapak sakit, Nak. Bapak gak bisa ngapa-ngapain...” aku terdiam, aku tak ingin
Ayah mendengar aku menangis. Sekuat tenaga aku berusaha mengatakan “Gak apa-apa
Pa, bapak istirahat aja dulu.. Tapi, jangan lama-lama. Supaya cepat sehat. Desy
sayang sama Bapak..” itu kalimat yang aku berikan untuk Ayah disana. Saat itu
ayah tidak terpasang NGT, juga hanya memakai Nasal Kanul. Benar. Ayah saat itu
terkena stroke hemoragik. Terjadi pendarahan di otak yang menyebabkan Ayahku
harus terbaring di Ru. ICU. Dua hari kemudian ayah, sudah terpasang NGT,
sungkup NRM dan Aku tidak ada disisinya, aku jauh disini. Ya Allah, ini kah yang
disebut ujian?
Malam
itu Mama menelepon, beliau mengatakan bahwa Ayah dalam kondisi sangat kritis.
Dan apapun yang terjadi semua adalah Kehendak Allah SWT. Aku tak sanggup
mendengarnya, kerongkonganku terasa tercekik, dadaku terasa sesak. Aku hanya
bisa menangis. Aku tak tau harus bagaimana. Aku tak pernah membayangkan
sekalipun, bahwa aku akan kehilangan ayah secepat ini. Mama, haruskah kita
menerima semua ini? Aku tak berdaya, sungguh aku hanya insan yang lemah Ya
Allah.
Mama
benar, beliau tak ingin melihat ayah menderita lebih lama. Beliau mengikhlaskan
jika Ayah memang harus pergi. Aku masih belum bisa, dan mungkin tak akan pernah
bisa. Namun, aku tak boleh mengikuti egoku. Aku sadar, aku adalah mahasiswa
keperawatan. Aku tahu betul bagaimana kondisi Ayah saat ini. Aku hanya bisa
diam disini. Seperti ruang yang kehilangan cahayanya.
Malam
itu, aku mengatakan bahwa aku telah siap menerima kepergian Ayah. Aku ikhlas,
Ya Allah. Aku siap. Keadaan Ayah makin memburuk, semakin lama semakin menyayat
hati ini, karena aku disini sungguh tak berdaya. Siang itu aku dinas di IGD di
sebuah Rumah Sakit, hari itu aku dinas siang. Sekitar jam 10.00 WIB
mama menelepon aku, bahwa beliau sedang diruangan di samping Ayah. Aku rindu
sekali mendengar Ayah memarahiku, dan menasihatiku dengan sangat baik. Jadi aku
ingin menyemangati Ayah melewati via telepon. Mama mengizinkanku melakukannya.
Bibirku gemetar, ketika mengucapkan kata-kata itu, “Pa, bagaimana kabarmu hari
ini? Kenapa lama sekali tidurnya, Pa. Bapak gak kangen sama desi? Pa, hari ini
desi dinas siang, desi juga udah konsul Proposal tadi, Pa. Pa, cepat sehat ya
Pa. Cepat kembali kayak dulu lagi. Bapak ingat yang desi bilang pas desi dinas
di Singai Tarab, Tanah Datar waktu itu kan, Pa? Kalau bapak adalah jantung
desi. Kalau bapak sakit desi juga sakit.. Desi tunggu bapak disini. Cepat
sembuh ya, Pa.. Desi sayang sama Bapak. Sayang banget, Pa.... “
Karena
sudah tak kuat lagi, aku mematikan telepon saat itu. Sejenak kemudian mama
menelpon ku lagi, ia mengatakan “apa yang desi bilang sama bapak, nak? Bapak
menangis, nak. Air matanya mengalir di kedua pipinya”. Inikah pertanda beliau
ingin pergi meninggalkanku? Ia menangis karena tak bisa bertemu dengan
putrinya lagi? Aku hanya mengatakan pada Mama, “aku menyayanginya..” begitulah
jawabanku.
Kala
itu hp ini tidak bersuara, ntah mengapa aku lupa mengaktifkan nada panggilan.
Saat aku membuka ponsel ini, ada 7 panggilan tak terjawab dari Mama. Aku
gemetar. Lalu aku telepon balik. Hati ini seperti tersambar petir. Ayah
benar-benar pergi meninggalkanku. Aku benar-benar tak akan pernah bisa bertemu
dengannya lagi. Ayah,....
Air
mata ini tahu betul bagaimana hati ini tersayat begitu dalam, aku telah
kehilangan malaikat tanpa sayapku. Aku benar-benar telah kehilangannya.
Saat
ini, aku begitu merindukannya. Kamu tahu hal apa yang paling aku rindukan? Yang
paling aku rindukan adalah saat Ayah memarahiku karena kenalanku, bercanda
denganku jika aku mulai mengeluh dengan rutinitas ku, dan yang selalu
menasihatiku ketika memenuhi kebutuhanku. Ayah, aku merindukanmu lebih dari
siapapun didunia ini. Tak biasakan engkau bertahan sedikit lagi? Tak bisakah
engkau berjuang sebentar lagi? Kenapa engkau pergi meninggalkanku begitu saja,
Ayah? 16 Februari, aku kehilangan mu... Tak bisakah aku mengucapkan untuk ulang
tahunmu sekali lagi, Ayah? Kenpa harus secepat ini, Ayah? Tahukah engkau bahwa
aku sangat mencintaimu?
Aku
harus memenuhi keinginanmu, Ayah. Aku akan berjuang sekuat tenaga agar aku
menyelesaikan kuliahku tahun ini Ayah. Aku akan berjuang untukmu, dan juga
untuk masa depanku, Ayah. Aku akan tetap tersenyum. Dan aku tak akan
menyalahkan takdir karena kehilanganmu. Aku akan mulai tersenyum karena
mengingatmu, Ayah. Meski jika ada airmata dipipiku menetes, itu bukan karena
aku cengeng, tapi karena aku bangga menjadi putrimu, Ayah. Selamat jalan, Ayah.
Rindu dan Do’aku selalu untuk mu..
Langganan:
Postingan (Atom)